Rabu, 17 April 2013

LOVE STORY


“Ta…tapi bagaimana kau menghancurkan kegelapanmu itu Naruto?”

“Menciptakan cahayaku sendiri. Karena kegelapan hanya dapat dihilangkan oleh cahaya bukan? Seperti hujan, awan akan terlihat gelap. Tetapi ketika matahari mulai muncul dari persembunyiannya. Awan tidak akan terlihat gelap lagi dan juga…..”

“Hujan akan takut untuk turun.”

~~~~~


Matahari senja merambat turun dengan pasti. Setelah sepanjang hari berada dalam suhu diatas 30 derajat celcius, akhirnya Konohagakure diguyur hujan. Hinata baru saja menyelesaikan latihannya bersama Kurenai sensei saat melihat sinar lampu motor yang menembus derasnya air hujan.

Hinata mendapati Naruto yang tampak basah terkena air hujan. Ia memarkirkan motornya tepat disamping Hinata yang sedang berteduh di depan gerbang menunggu Neji datang menjemputnya.

Uzumaki Naruto, 18 tahun. Ayahnya adalah seseorang yang paling dihormati di Konoha dulu. Setahu Hinata, kedua orangtuanya meninggal saat ia masih kecil. Hinata sangat salut dengannya, walaupun sejak kecil ia hidup sendiri, ia masih dapat menikmati hidupnya layaknya anak lain. Sempat beberapa kali Hinata melihat kalau dia masih berkumpul dengan genk bad boy nya bersama Sasuke, Gaara, Sai, Kiba dan ya kakak sepupunya sendiri yaitu Neji. 

Dan juga…. Ia pemimpi yang sangat keras kepala. Auranya seperti mengatakan kalau ada yang berani mencoba untuk menghentikannya, ia akan lebih bersemangat untuk mendapatkan mimpi itu. Sudah 3 bulan ini ia selalu tak menyerah mengejar mimpinya. Gadis putih dengan rambut biru kehitamannya yang sedang berdiri menautkan kedua tangan di sebelahnya. Ya, dialah gadis yang membuat Naruto tak berhenti bermimpi untuk memilikinya. 

Hinata hanya hidup bersama Neji di Konoha. Tidak seperti Naruto, ayahnya memang masih hidup. Hinata adalah anak sulung dari pemimpin klan Hyuga yaitu Hiashi Hyuga, sebagai anak sulung ia merupakan pewaris utama klan. Karena posisinya sebagai pewaris, Hiashi memiliki harapan yang tinggi pada Hinata dan ia memberikan latihan yang sangat melelahkan pada Hinata. Namun kemajuan Hinata sangat lamban hingga ayahnya telah menganggap ia gagal. Sebaliknya, ayahnya memilih untuk fokus dan mengembangkan adik Hinata yang terbukti jauh lebih berbakat.

Karena masalah dengan ayahnya, Hinata lebih sering menghabiskan waktu sendirian dan menangis karena gagal menerima kepercayaan sang ayah. Karena itu, tujuan Hinata berlatih mati-matian di Konoha bersama Neji kakak sepupunya, hanya untuk memperlihatkan bagaimana ia dapat berkembang kepada sang ayah. Lagi pula ia tidak ingin kejadian dua tahun lalu terulang kembali. Tanpa sadar Hinata memegang sesuatu di pergelangan tangan kirinya.

“Kau…sedang apa disini?” Tegur Naruto akhirnya. Sementara Hujan yang tadinya deras pun sekarang hanya tersisa rintik-rintik saja.

Hinata baru tersadar dari lamunannya dan menatap Naruto sekilas.

“A aku sedang…” seru Hinata gugup.

“Menunggu Neji?”

“O..oohh.. i.iya..”

Naruto membuka blazer kuningnya, dan memberikannya pada Hinata, “ Ayo pulang !“

“ Eh .. eh tunggu ! aku sedang….menunggu…kalau dia datang…emmhh.. maksudku aku tidak ingin merepotkanmu Naruto-san.”

Sebenarnya Hinata belum percaya kalau ia menerima ajakan Naruto akan pulang dengan selamat atau tidak. Itu yang Hinata pikirkan sekarang. Naruto menoleh lemah ke Hinata di belakangnya .

“Kau tidak punya jam yah ? ini sudah hampir jam 5 dan kau masih mau menunggu Neji? Aku yakin Neji pasti tidak akan datang. Udah engga ada orang tau !“ Naruto menaiki motor besarnya dan menyalakan mesinnya agar Hinata cepat memutuskan.

Hinata berjengit saat ingat obrolannya dengan Ino. Mendadak bayangan para hantu liar yang ada di sekitar tempat latihannya melintas di kepalanya . Hinata bergidik .

“T..t..Tungguuuuuuuu !” Hinata mengambil helm yang sudah ada di tangan Naruto sejak tadi dan memakainya.

 “Ayo, naiklah,” Naruto pun tersenyum singkat. Dengan hati-hati Hinata menaiki motor Naruto. Jantungnya berdebar-debar karena baru kali ini ia berada begitu dekat dengan laki-laki selain ayahnya dan Neji. Walaupun ia sering bermain kerumah untuk menemui Neji, tapi ia belum pernah sekalipun berinteraksi secara langsung seperti ini.

Wajahnya dan tangannya berkeringat dingin karena gugup. Hinata semakin mempererat pegangannya saat Naruto melajukan motornya cepat. Perasaan aneh itu muncul. Bahkan semakin parah. Jantungnya berdebar-debar. Tangannya berkeringat. Dan ada sesuatu yang aneh menggerayap di perutnya. Namun entah kenapa Hinata menikmati perasaan itu. Dia tak mengerti apa yang sedang dirasakannya. Semuanya terasa aneh. Sepertinya dia merasa aman oleh Naruto. Padahal seharusnya dia waspada terhadap Naruto.

~~~~~

Naruto masih menatap langit kamarnya setelah ia mengantarkan Hinata dengan selamat kerumahnya. Segalanya sepi. Sesepi hatinya yang tanpa kehadiran seorang pun. Dia pun ingat akan sesuatu. Ia bangkit dari kasur kemudian berjalan ke arah lemari. Tanpa banyak mencari ia telah menemukannya. Sebuah bingkai foto. Disana terlihat ayahnya yang sedang memeluk ibunya dari belakang. Naruto mendapatkan foto itu dari Kakashi sensei. Kakashi sensei juga yang memberitahunya kalau itu adalah ayah dan ibunya.

“Ahhh aku merindukan kalian. Bagaimana kabar kalian? Ibu, ayah aku sedang memikirkan seseorang. Coba kau ada disini ayah. Aku ingin bertanya bagaimana caranya kau bisa mendapatkan hati ibu.”

Setelah menaruh bingkai foto itu ketempat semula, ia pun merebahkan dirinya lagi dan membebaskan pikirannya untuk memikirkan gadis yang setiap hari selalu mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

“Aahhh kau sangat mengganggu pikiranku Hinata. Tapi ini menarik.”

~~~~~

Sudah seminggu setelah kejadian itu, hubungan Naruto dengan Hinata semakin dekat. Naruto selalu memberikan Hinata saat ia sedang latihan walaupun hanya dibalas sebatas senyuman oleh Hinata. Sekarang bagi Naruto, ada alasan baginya untuk tetap bertahan hidup lebih lama lagi karena mungkin rasa untuk melindungi Hinata lebih besar daripada rasa untuk melindungi dirinya sendiri. Hinata seperti cahaya dimana Naruto melupakan sejenak kegelapannya di masa lalu.

“Hei Naruto!” teriak Kiba seraya menghampirinya.

“Yo! Mana yang lainnya?”

Terlihat Gaara, Sasuke, dan Neji menyusul di belakang Kiba.

“Hei kau sudah mendahuluiku rupanya.” Kata Kiba.

“Maksudmu?”

“Maksudnya Hinata.” Jawab Gaara to the point.

“Awas saja kalau kau mempermainkannya Naruto.” Sergah Neji.

“Hahahah kau terlalu serius Neji.” Sergah Naruto sambil merangkul bahu Neji ramah.

“Hei dimana Sai?” Sasuke berbicara

“Sepertinya pergi menemani Sakura, sepertinya kau harus menyusulnya Sasuke, kalo tidak….” Gaara mulai memanas-manasinya.

“Aissshhhh! Anak itu! Awas saja sampai macam-macam dengan pacarku.”

“Ha! Baru calon wey!” ralat Gaara.

“Ya sama aja. Aku pergi dulu ya!” Sasuke pun pergi

Tepat saat Sasuke pergi. Hinata yang sedang membaca buku tidak sengaja melewati mereka dan memandang ke arah Naruto yang sedang berlari mengejar Neji.

“Oh, hai,” sapa Naruto ramah. Hinata hanya membalasnya dengan anggukan pelan kemudian mengalihkan padangan ke buku yang dia baca.

“Ingin pulang sekarang?” Tanya Neji yang kala itu sedang berada di sebelah Naruto.

“Boleh tidak aku yang mengantarnya?” bisik Naruto ke Neji.

“Kenapa bertanya padaku? Memangnya dia mau?”

“Boleh aku mengantarmu nona? Kau bisa percaya padaku, aku tidak akan macam-macam. Karena kalau tidak mungkin Neji akan membunuhku hahaha.” Canda Naruto yang kesekian kalinya.

“Ah! Shit! Aku ada janji dengan Gai sensei. Gomen Hinata, sepertinya kau harus pulang dengan Naruto kali ini.”

“Oke, semangat ya!” seru Naruto sambil ber-hi5 dengan Neji. Neji langsung pergi dari tempat itu setelah ber-hi5 juga dengan yang lainnya.  Naruto melihat Hinata sejenak kemudian tersenyum.

Sebelum Naruto benar-benar mengantar Hinata pulang, ia mengajak Hinata berjalan-jalan sebentar karena ini adalah kesempatannya untuk lebih dekat lagi dengan Ice Princess-nya itu.

“Ini bukan arah rumahku Naruto.”

“Memang.” Jawab Naruto secukupnya.

“Ja..jangan main-main! Turunkan aku disini!” Bentak Hinata mencoba berdiri dari motor Naruto yang sedang malaju.

Melihat perlakuan Hinata, ia pun menarik tangannya dan mengunci tangan kiri Hinata di genggamannya, “Terlalu berbahaya nona!”

Untung saja Naruto tidak melihat kebelakang saat ini karena Hinata yakin wajahnya sudah berubah menjadi tomat.

“Perasaan apa ini?” Hinata mulai merasakan getaran aneh itu lagi.

“Tunggu….” Kata Naruto menggantung ketika ia menyadari ada sesuatu di pergelangan tangan Hinata. Dengan gerakan halus ia usap pergelangan tangan mungil itu.

“Tanganmu…. kenapa?” tanya Naruto heran.

“Kenapa Naruto bertanya seperti itu? Tanganku? Eh? Ada apa” batin Hinata bingung. Dia kaget setelah teringat tangan kirinya yang tidak memakai jam tangannya. Tangannya tiba-tiba terasa dingin. Napasnya pun memburu. Buru-buru Hinata menarik tangan kirinya dari genggaman Naruto. Sayang itu semua sia-sia. Naruto sudah terlanjur mengunci tangannya kuat.

Titik demi titik air yang di keluarkan oleh langit hari itu semakin lama semakin deras. Sepertinya penguasa langit sedang tidak bisa memaafkan penduduk sekota karena terlalu lupa oleh waktu dengan pekerjaan-pekerjaan mereka yang hanya menyisakan peluh di dahi.

Naruto dan Hinata memutuskan untuk berteduh di deretan toko-toko kosong di pinggir jalan. Ini adalah kedua kalinya mereka bersama dalam gelapnya awan serta lolongan petir yang memekikan telinga seakan tahu suasana hati mereka yang sedang gusar satu sama lain. Beberapa kali Hinata memejamkan mata saat suara petir mulai bergemuruh.

“Kau tidak apa-apa Hinata?” Tanya Naruto yang saat ini sedang melepaskan jaketnya.

“Ini pakailah! Anginnya kencang sekali, kau bisa sakit.” Kata Naruto sambil meberikan jaketnya.

“Tidak usah Naruto. Aku tidak….”

Duarrr! Jegerrrr!!

Hinata memejamkan matanya lagi. Untuk kesekian kalinya Hinata kaget karena suara petir yang terus bersahut-sahutan.

Naruto yang melihat Hinata sepeti itu langsung memakaikan jaket ke bahu Hinata dengan tangan kirinya dan menggengam erat tangan Hinata yang mulai kedinginan dengan tangan kanannya.

“Kau ini pemalu sekali. Jangan canggung begitu di depanku! Atau kau tidak berniat kenal lebih jauh tentang aku, Setiap kali bertemu kau hanya diam saja hahaha” canda Naruto memulai pembicaraan. Tapi situasi ini…. kenapa tubuhnya tidak bergerak sedikit pun dan tidak menolak perlakuan Naruto…. Seperti Hinata yakin kalau Naruto dapat melindunginya.

“Baiklah, aku mengerti. Kau itu agak mirip dengan Neji. Dia itu hanya akrab dengan orang terdekatnya. Di luar itu, dia akan tampak amat pemalu dan canggung. Terutama pada wanita. Ahhh aku sangat gemas saat dia mendekati Ten Ten.” kata Naruto. Hinata hanya tersenyum tipis. Namun ada hal aneh terjadi. Kupu-kupu itu hidup kembali dalam perutnya.

Hinata merasakan hal yang aneh. Ia melirik sedikit ke arah Naruto. Namun dia tersentak dan mengalihkan pandangannya begitu tahu Naruto terus memandanginya—dalam jarak yang terbilang dekat.

“Kenapa dia melihatku seperti itu?” batin Hinata takut.

“Tanganmu…. ”  Naruto mulai mengungkit hal yang sempat terpotong saat di motor tadi.

“Apa itu luka? Kau pernah mencoba bunuh diri Hinata?” tanya Naruto sambil memandangi bekas sayatan pada tangan Hinata dengan lekat.

Deg deg deg deg deg

Jantungnya berdetak kuat. Membuatnya khawatir Naruto akan mendengarnya. Tangannya semakin dingin. Dan kupu-kupu itu—makin liar menggerayapi perutnya.

“Lepaskan aku Naruto! A..Aku tidak apa-apa..” seru Hinata parau hendak menarik diri dari Naruto. Keringat dingin keluar dari wajahnya.

“Aku mohon, jangan usik kejadian itu lagi!” jerit Hinata dalam hati.

“Kau memendam sesuatu? Bekas lukamu itu mengerikan sekali,” komentar Naruto. Hinata  pandangi bekas lukanya sendiri karena baginya percuma juga menyembunyikan luka itu sekarang. Naruto sudah melihatnya.

“Itu… masa lalu…” gumam Hinata setengah berbisik.

“Ternyata kau ini nekat melakukan hal-hal terlarang seperti bunuh diri. Kau juga harus berpikir tentang orang-orang yang sangat menyayangimu. Tindakan itu, tidak hanya akan membunuh dirimu sendiri. Tapi bisa saja membuat orang lain menderita,” kata Naruto sambil memandang ke langit melihat awan yang terus menerus mengeluarkan bulir-bulir intannya.

“Orang tuaku…” gumam Naruto. “Mereka meninggal saat aku lahir,” gumam Naruto lirih. Hinata tercengang mendengar ucapan itu. Dia pandangi wajah Naruto yang murung.

“Aku tahu itu Naruto-san” batin Hinata.

“Kenapa bisa?” Tanya Hinata yang tak bisa menghentikan rasa penasarannya. Ada jeda sesaat sebelum Naruto buka mulut.

“Hahaha aku yang harusnya bertanya seperti itu Hinata-chan. Mengapa kau berniat untuk…ya emh bunuh diri?”

“Aku… aku… aku benci ayahku! Aku benci diriku yang lemah! Apa kau tidak pernah merasakan kalau hidup ini tidak adil Naruto? Hiks-“ Jawab Hinata parau karena kali ini ia tidak dapat menahan airmatanya keluar lagi. Naruto sedikit kaget karena ini pertama kalinya Hinata berbicara dengan kalimat yang panjang kepadanya dan baru kali ini juga Naruto melihatnya menangis.

“Ya! Setidaknya aku pernah merasakan hidup ini kadang tidak adil Hinata…”

Ayahku sangat keras melatihku, itu sangat melelahkan. Aku lelah Naruto… lelah… sampai aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang aku lakukan. Kadang…. Aku iri dengan caramu menjalani hidup hiks-“

“Kau tidak perlu iri denganku.. Semua orang pasti punya kegelapannya sendiri. Aku misalnya, aku tidak punya siapa pun yang bisa mendukungku. Mungki itu cara ayahmu untuk terus mendukungmu agar kau lebih giat berlatih. Masalahnya sekarang bagaimana kau dapat menghancurkan kegelapan itu..” jelas Naruto lebih untuk dirinya sendiri.

“Seharusnya kau tidak perlu membenci ayahmu. Kau tau Hinata, mereka, ayah dan ibu adalah sosok yang paling berharga dalam hidupku. Kau telah salah karena membencinya. Tapi walau bagaimanapun aku tidak akan membuatmu menyayat nadi-mu lagi.” Naruto pun memeluknya erat seakan ingin memberi kekuatan lebih besar lagi kepada Hinata.

“Naruto… aku ingin menjadi seseorang yang mendukungmu sekarang.” gumam Hinata pelan.

“Hahaha benarkah? Yasudah kalau itu maumu.”

“Ta…tapi bagaimana kau menghancurkan kegelapanmu itu Naruto?” Tanya Hinata

“Menciptakan cahayaku sendiri. Karena kegelapan hanya dapat dihilangkan oleh cahaya bukan? Seperti hujan, awan akan terlihat gelap. Tetapi ketika matahari mulai muncul dari persembunyiannya. Awan tidak akan terlihat gelap lagi dan juga…..” Naruto menambahkan jeda saat di menghapus pelan air mata di mata Hinata.

“Hujan akan takut untuk turun.” Lanjutnya.

~~~~~


Naruto mendadak membuka matanya saat dia teringat sesuatu. Dia harus menjemput Hinata sekarang. Ya, perjuangannya meyakinkan Hinata kalau dia benar-benar menyayangi gadis itu masih ia lanjutkan hingga hari ini. Rencananya Naruto akan mengungkapkan isi hatinya hari ini.

Sesampainya dirmah Hinata, ia memencet bel berkali-kali sampai gadis lugu-pendiam itu pun membuka gerbang dan berteriak berpamitan dengan Neji.

“Neji-kun aku berangkat dengan Naruto-san ya?!” seru Hinata sambil memakai helm yang diberikan Naruto.

“Hati-hati!” terdengar jawaban dari dalam rumah Hinata.

“Ohayou my princess!” sapa Naruto ramah sambil genit mengedipkan sebelah matanya.

“Kita sudah terlambat Naruto-san. Cepatlah!” kata Hinata yag berniat ingin marah-marah karena Naruto datang terlambat. Tetapi menurut Naruto, Hinata tidak seperti sedang membentaknya. Sepertinya karena suaranya yang memang lembut.

“Ahhh sebentar! Aku ingin bicara….. aku… aku… “ Naruto mulai merutuk dirinya sendiri dalam hati. kenapa kali ini ia yang menjadi gugup.

“Cepat katakan! Dan kita akan langsung berangkat.” Perintah Hinata sambil menatap Naruto serius.

“Yasudah kita berangkat saja. Ayo!” kata Naruto sambil menarik tangan Hinata.

“Aku ingin kau mengatakannya dengan sungguh-sungguh sekarang!” Hinata membulatkan matanya, wajahnya terlihat serius. Ya, terlihat semakin lucu dengan sikap seperti itu. Karena Naruto belum pernah menyangka kalau Hinata berani menatapnya matanya seperti ini.

“Tidak usah. Ayo!” sahut Naruto pura-pura tidak mengerti. Hinata berdecak sambil menyilangkan tangannya di dada. Naruto semakin ingin tertawa melihatnya.
“Katakan sekarang atau tidak sama sekali,” ucapnya tegas.

“Mengatakan apa Hinata-chan?”

“Oh, jadi begitu? Yasudah LUPAKAN SAJA!”

Kimi ga suki desu ” ucap Naruto pelan.

“Apa? Aku tak mendengarnya.”

Naruto menarik Hinata ke dalam pelukanku dan berbisik di telinganya.

Daisuki yo, onaji kimochi o kanjite kai?

Hehehehe, Hai’  suki desu!” Hinata  mengeratkan pelukannya.

‘Kau itu cahayaku Hinata, aku tidak akan dapat menghacurkan kegelapanku tanpamu.” Naruto melepaskan pelukannya dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Hinata yang sekarang merona merah.  Sampi tiba-tiba Neji ada di depan mereka berdua. Naruto dan Hinata yang mengetahui kedatangan Neji langsung saling menjauhkan diri satu sama lain.

“Kalian belum berangkat? Ku kira kalian… dan tadi itu… apa?” Tanya Neji dengan wajah yang penuh tanda tanya.

“Sekarang kau tak perlu cemas dengan Hinata. Karena…”

“Jangan bilang kalian berdua……”

Hinata pun tersenyum malu saat Neji mengatakan itu.

‘Cup!’

Tepat saat itu juga Naruto memperjelas kalimat Neji yang sempat tergantung. Ia mengecup pelan bibir Hinata. Hinata membeku ditempatnya.

“Ya. Apapun yang kau pikirkan itu benar Neji.”

“Hya! NARUTO! PERVERT! Kau seharusnya tidak melakukan itu di depanku!” teriak Neji sambil berlari mengejar Naruto.

Naruto yang tahu hal itu langsung melarikan diri untuk menghindari Neji. Hinata masih terlalu kaget untuk bisa menormalkan kembali pikirannya.

“Naruto…….” Itulah satu-satunya kata yang dapat dilontarkan oleh Hinata saat ini.


Darkness cannot drive out darkness: only light can do that.
Hate cannot drive out hate: only love can do that. Martin Luther King Jr.



Untuk para Readers tolong komentarnya yaaaa~~~ Arigatou!! ^^